Sabtu, 09 Januari 2016

Pendekar Kipas Sakti #4

Bukit Maut adalah bukit yang sangat di takuti oleh warga sekitar. Dinamakan Bukit Maut karena segala macam iblis dan raja setan berada disana.

(Kisah yang lalu)

Banyak warga tidak berani melewati sebuah batu berbentuk arca seperti kepala kerbau bertubuh manusia. Batu itu sebagai pembatas dilarangnya para pelintas untuk memasuki bukit itu. 

Suatu ketika ada warga yang nekat memasuki bukit itu, namun orang itu tak pernah kembali lagi. Ketika di temukan, jasadnya sudah di hinggapi belatung berkerumun. Tapi aneh kepala jenazah itu masih utuh dan segar, sehingga orang-orang yang menemukannya mudah mengenali karena paras wajahnya masih terbentuk walaupun tubuhnya sudah menjadi tulang belulang.

Angin semilir menghembus dari arah barat perlahan menghempaskan rambutnya yang gondrong masay. Seorang pemuda berpenampilan tampan juga keren terselip sebuah kipas di pinggangnya. Pemuda tampan itu adalah Arya Welang.


Sembari bersiul merdu ia duduk di dahan kayu suren, Arya Welang memicikan mata kearah dimana sesosok wanita paruh baya membawa seikat kayu bakar di pundaknya. Didalam hati Arya Welang berkata. "Sungguh kuat nenek ini, masih saja mencari kayu setua itu."

Nenek penggendong kayu itu berjalan dengan terseok ketika gundukan tanah yang licin menghalanginya. Sempat hampir terjatuh, namun nenek penggendong kayu itu bisa mengimbangi tubuhnya ketika terpeleset membuatnya terpelanting. Tampa menoleh ke arah seorang pemuda yang sedang asik bersiul, ia terus berjalan ringkih.

Tak jauh Arya welang memandang. Tiba-tiba Nenek itu melompat tinggi untuk menghindari sebilah pisau menghujam lehernya. Ia mengelak kembali melompat kekiri ketika serangan yang kedua datang dari arah yang sama, mendapat serangan mendadak sang nenek memaki lantang.

"Semprul, keluar kowe!" Nenek itu meyorotkan mata kearah penyerang. Arya Welang welang melihat itu meleletkan lidah lalu berguman didalam hati. "Buset dah tuh nenek, tinggi juga kelihaiannya!"

Tak lama kudian keluar dari pohon asam sesosok lelaki tua yang sebaya dengan si nenek. Ia tertawa menyeringai, lalu tertawa tipis sambil berucap. "Nini ... masih jeli juga penglihatanmu, kesaktianmu masih saja tak bisa di anggap ringan, walaupun badan hanya sebatang sapu lidi he ... he ... he ..."

Si nenek pencongkan bibir. "Akik mesum, sedang apa akik di sini?" si nenek bertanya.

"Sudah lama aku tak menyambangimu Ni!" menjawab Akik-akik itu sambil mendekati mulutnya ke arah Nenek." Si nenek layangkan tamparan. 

Plok ...

"Aki nyoman ... Kita ini sudah sama-sama, malu sama gigi kita yang ompong dan tubuh kita yang sudah reot ini harusnya memperbanyak ibadah untuk mengabdi kepada Tuhan, bukan mesum." ujar sang Nenek sembari mengangkat kayu bakarnya kepundak yang sempat merosot.

Sedangkan dari kejauhan mendengar nama Ki Nyoman Arya Welang berkata, "Ki nyoman! Perasaan aku pernah mendengar nama itu!" ia menkernyitkan kening lalu memijatnya. "Ah perduli, sudahlah," 

Lelaki tua bernama Ki Nyoman itu menyeringai, seraya merangkul tubuh nenek pembawa kayu itu. Si nenek menghentakkan badannya. "Sana Ki! Saya mau segera pulang, lihat hari mulai senja sama dengan usia kita yang sudah senja. Tapi Aki tak pernah berubah seperti dulu, geniiit..." ujar si nenek cengingisan.

"Baiklah sebelum kita pulang, izinkan aku mencium mu!"

Ki Nyoman mendekati lalu kembali merangkul dan mencium pipi si nenek. "Muaaach .." Si Nenek bukannya marah dicium malah cengingisan manja.

Arya Welang melihat kelakuan manula itu, tertawa ringan sambil mengumpat, "Nenek sableng, Akinya gila!" sambil menggeleng-gelengkan kepala, "sial aku, uh!"

Tampak dari kejauhan deru debu berterbangan yang dihentakan dari kaki kuda. Benar memang dua ekor kuda, salah satu penunggang kuda adalah seorang wanita dan yang satunya lagi tidak jelas entah wanita atau lelaki. Di bilang wanita tapi tampak kekar tubuhnya, di bilang lelaki tapi kulitnya putih dan gayanya pun lemah lembut.

Arya Welang turun dari dahan pohon lalu berjalan kearah timur di mana kedua penunggang kuda itupun menuju arah timur. Arya Welang tidak perduli dengan kedua penunggang kuda itu. Ia terus berjalan.

Terdengar hentakan kaki kudanya dari arah belakang, semakin lama semakin mendekat. Akhirnya kedua penunggang kuda itu melewati Arya Welang. Namun beberapa meter dari depan Arya Welang, kedua penunggang itu berhenti dan menoleh kebelakang melihat Arya Welang yang sedang berjalan kaki menujunya.

Penunggang kuda dengan kelamin tidak jelas turun dari kudanya lantas menegur Arya Welang. "Maaf Kisanak, apakah Kisanak tahu ini daerah mana?" Jelaslah Penunggang kuda yang tidak jelas kelaminnya ternyata seorang lelaki, hanya saja dia berkulit sangat putih dan mepunyai karakter yang lemah lembut.

Kalau diperhatikan dari keduanya berpakaian, kedua penunggang kuda ini bukan dari tanah jawa, tetapi dari negeri cina. Mereka mengenakan pakaian sangat halus seperti sutra, dan rambutnya panjang masay menggerai dan menjuntai. Senjatanya berupa pedang samurai lurus. Sedangkan penunggang kuda satunya lagi seorang wanita cantik juga putih jarang terlihat wanita seputih dia di tanah jawa.

"Maaf Kisanak apakah nama bukit ini?"

Wanita itu bertanya sambil sunggingkan seyum, Arya Welang sambut dengan seyuman khasnya. Lalu Arya Welang menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

"Ini kawasan Bukit Maut!" jawab Arya Welang, "Sedangkan Bukit Maut itu yang disana ..." Arya Welang menunjuk kearah dimana Bukit Maut bertengger.

"Tetapi Bukit maut itu adalah kawasan terlarang. Tidak ada yang berani masuk kebukit itu." ujar Arya Welang panjang. "Sebaiknya kisanak jangan kesana kalau ingin selamat, Kisanak bisa lewat Bukit Cinta setelah prapatan di depan sana." terang Arya Welang sambil menunjuk kearah prapatan di mana perbatasan antara Bukit Maut dan Bukit Cinta.

"Oh yah, sebenarnya Kisanak mau kemana?" sambung Arya Welang lagi.

"Kami mau menuju bukit itu hanya untuk mencari seorang wanita yang sedang di cari-cari oleh pihak kerajaan karena telah membuat keonaran dan meresahkan warga desa. Wanita itu telah membunuh selusin prajurit kami. Sedangkan kami berdua di bayar oleh pihak kerajaan untuk memenggal kepalanya dan membawanya kehadapan raja!" 

Arya Welang membatin, kenapa kedua pendekar ini harus menuju Bukit maut. Sedangkan warga setampat tidak berani masuk ke bukit itu. Apakah kedua pendekar ini tidak tahu. "Ah ... Aku sendiri tidak pernah masuk kedalam bukit maut itu!" Arya Welang berkata di dalam hati. Sebenarnya ia juga baru dengar desas-desus tentang Bukit Maut itu. Dan benar dia juga ingin menangkap wanita iblis itu.

Timbul ingin turut serta untuk masuk kedalam bukit maut itu, apa benar di bukit maut itu panuh dengan misteri, sehingga warga setempat menjuluki Bukit Maut.

"Ah-sebenarnya saya juga mau kesana!?" kata Arya Welang, "bagaimana kalau kita sama-sama menuju kesana!"

""Ah-dengan senang hati Kisanak," jawab orang lelaki yang mirip wanita. "Sebelumnya saya ucapkan terima kasih, atas kesedian Kisanak mengantarkan kami!"

"Jangan begitu, aku sendiri belum pernah masuk ke Bukit Maut itu!" ujar Arya Welang.

"Oh yah, kenapa di juluki Bukit maut, padahal kalau di lihat dari sini, bukit itu sangat indah dan rimbun."

"Konon kata Masyarakat setempat, tidak ada yang berani masuk kebukit itu, ada seorang wanita iblis yang sangat jahat!" Berujar Arya Welang sambil berjalan pelan menuju Bukit itu. Sedangkan dua penunggang kuda itu pun turut berjalan kaki dengan menarik kekang kuda di leher.

"Ah-itukan hanya katanya!" Lelaki mirip perempuan itu berkilah.

Lalu penunggang kuda seorang wanita bekata. "Changpo, kau lihat patung itu, apa maknanya?!" Wanita cantik dan putih itu menunjuk ke arah patung berbentuk manusia berkepala kerbau.

"Em ... Tidak tahu Meymey," jawab lelaki mirip perempuan itu yang ternyata bernama Changpo, dan wanita cantik dan putih bernama Memey sebagai istrinya. Arya Welang mendengar nama itu, ia kini mengerti kalau dua pendekar ini berasal dari negeri tirai bambu, Chines.

"Baiklah Kisanak! Apapun kata warga disini ini adalah bukit maut, apa salahnya kita menyelidiki lebih lanjut." Yang berkata Changpo.

"Mari suamiku," jawab Memey.

Arya Welang hanya bergumam didalam hati. "Indah benar mereka berdua. Sedangkan aku belum pernah merasakan cinta."

"Hayo Kisanak kenapa melamun!" Changpo bertanya tiba-tiba membuat Arya Welang terbangun dari lamunannya. "Kisanak takut dengan bukit maut ini?"

Arya Welang tersenyum lalu kembali melanjutkan langkahnya. Kini ia berada posisi terdepan. Arya Welang tidak mau berada di belakang karena membuat dia iri hati akan ke-romantisan pendekar dari dari tirai bambu itu.

Patung kepala kerbau berbadan manusia dilewati. Karena bukit itu cukup tinggi dan untuk menghormati Arya Welang, Changpo berujar pada istrinya, "Memey, kita tanggalkan saja kuda kita di sini. Kita jalan kaki menuju bukit itu." Memey mengangguk lalu mereka mengekang kuda mereka terikat di dahan pohon seri. 

Setelah mereka mengikat kudanya dengan kuat, lalu berjalan kembali keatas bukit. Banyak ilalang yang tumbuh lebat. Serumpun pohon putri malu juga membuat aral perjalan mereka sampai kebukit maut. Namun dengan ilmu keahlian masing-masing perjalan yang penuh rintangan itu dapat dilalui.

Tidak jauh dari mata memandang tampak rumah dengan ornamen anyaman bambu dan bergenting dari ijuk itu dirasa sangat seram. Hanya satu rumah yang berada di bukit itu. Mereka yakin penghuni rumah itu adalah wanita yang dimaksud Changpo dan Memey.

Arya Welang hanya tertegun melihat rumah yang penuh aura mistis itu. Apa benar rumah itu adalah rumah Sutini, wanita berjuluk berhati iblis pemangsa lelaki remaja yang akan di jadikan tumbal keabadian dan kecantikannya.

Changpo dan Memey berhenti sejenak didepan rumah itu lalu berkata kepada Arya Welang. "Kisanak, apakah mungkin ini rumah wanita berhati iblis itu.

Arya Welang menggelengkan kepala pertanda tidak tahu. "Sebaik kita panggil saja Tuan!" ujar Arya Welang memanggil dengan sebutan Tuan.

"Kenapa kisanak memanggil Tuan kepadaku?" bertanya Changpo.

"Karena tuan seperti saudagar pedagang gitu." jawab Arya Welang singkat.

"Ah-emang aneh penulis cerita ini, sok tahu ilmu sastra, bilang aja apa kalau memang gak tau." Berujar Changpo, mengejek penulis. Namun penulis tidak takut untuk menulis sebuah cerita fantasi. Karena semua karakter yang ada di cerita blog ini adalah kekuasaan penulis, mau di apain kek, seterah.

Di bawah batang pohon besar itu, terlihat tubuh kerbau berkepala manusia. Entah kepala siapa yang terpenggal lalu di satukan dengan badan kerbau. Ihh ... sungguh mengerikan. Lalu kemana tubuhnya dan di manakah badan kerbaunya. Changpo dan Memey baru teringat, sungguh kejam memang orang yang membuat patung dengan cara disilang, tukar badan dan tukar kepala antara kerbau dan manusia.

Patung yang berada di pintu ketika masuk ke bukit maut, tertancap patung badan manusia kepala kerbau. Sedangkan yang di bawah pohon lebat di samping rumah seorang wanita berhati iblis bernama Sutini ini, terikat kerbau berkepala manusia. "Sungguh aneh dan kejam kelakuan orang yang berbuat seperti itu!" Membatin Arya Welang.

Tak lama keluar terdengar suara derik pintu lalu keluar seorang wanita dengan pakaian terbuat dari dedaunan. Hanya menututupi buah dada dan selangkangannya saja. Ketiga pendekar terhenyak melihat wanita cantik tapi berpakaian ala orang pedalaman. Sungguh unik lihat pakaiannya yang modif. Dengan suara lemah lembut wanita itu berkata:

"Ada keperluan apa kalian kamari.?" 

Changpo, Memey dan Arya Welang sejenak saling berpandangan. Arya Welang melirik Chingpo untuk menjawab maksudnya kemari untuk bertemu dengannya.

"Kami kemari mau bertemu dengan kamu. Kami ingin membawa kamu untuk diserahkan kekerajaan karena sudah banyak dosa yang kamu perbuat" berkata Changpo. "Ya benar kami kemari ingin bertemu kau hai wanita iblis!" yang berkata demikian adalah Memey. "Apakah Anda bernama Sutini itu!" sambung Arya Welang.

"Ha ... ha ... ha ..." Wanita iti alias Sutini tertawa gelak-gelak. "Manusia bodoh, lancang sekali mulutmu. Dengar kalian sudah tidak sopan masuk kedaerahku!

Arya Welang menyeringai lalu menjawab dingin. "Benar, aku kemari hanya ingin tahu apakah kamu sebagai wanita yang berjuluk hati iblis?!" 

"Sebutan iblis berhak di cantumkan oleh orang-orang yang jahat dan berotak mesum!" Berkata Wanita itu. "Sebaiknya kalian hengkang dari hadapanku sebelum kesabaranku habis. Dan segera keluar dari bukit ini sebelum aku kehabisan kesabaran." ancam wanita itu, dengan perkataan keras dan perkataan yang di bulak-balik, yang sebelumnya terdengar lemah lembut.

Sebenarnya Changpo dan Memey merasa takut. Mereka tak mau menjadi korban kejahatannya. Changpo meraih hulu pedang bersiap melepaskan dari sarungnya

Tiba-tiba wanita itu melototkan mata sambil menguarkan suara menggeram
Tampak murka rupanya. Sehingga wajah yang cantik kini menjadi sangat menyeramkan. Chingpo dan Memey sedikit ketakutan melihat wajah seramnya. Rupanya apa yang dikatakan warga itu benar adanya. 

Namun Changpo dan Memey tidak takut menghadapi setiap rintangan di dunia persilatan. Mereka sudah terbiasa bertemu dengan para pendekar baik dari golongan hitam maupun golongan putih.

Sementara itu Arya  Welang menyeringai. Ia senang apa yang di hadapannya
Ternyata orang yang ia cari selama ini yaitu wanita cantik berhati iblis, berada di hadapannya. Sehingga ia tidak susah-susah mencarinya. Dengan merangkapkan tangan di dada, Arya Welang berujar kepada wanita berhati iblis itu.

"Hai wanita berhati iblis. Sudah saatnya kau harus bertobat menghentikan kejahatanmu!" 

Arya Welang berkata demikian, sontak wanita berhati iblis itu tertawa cekikikan, "hi... hi ... hi ... Pemuda bodoh! Keren sekali kata-katamu. Aku di sebut wanita berhati iblis. Uh ...!" Lantas wanita itu melompat kemuka mendekati Arya Welang. Dan berkata kembali dengan mata menyorot tajam, "Dengar pemuda culun, aku tidak akan mati, aku abadi, justru kalianlah yang akan menjadi hiasan dindingku.

"Apa yang kamu maksud dengan hiasan di dinding?" yang berkata Memey. Changpo lalu berbisik pelan. "Sudah Memey jangan ikut campur, kita lihat saja apa yang akan terjadi!"

"Tapi suamiku! Wanita itu telah membuatku geram karena menganggap ringan, dia tidak kenal siapa kita!" Semakin murka Memey. "aku akan coba ketangguhan ilmunya!"

"Jangan Memey!" cegah Changpo seraya mencekal tangan Memey agar tidak terbawa emosi. "Kamu lihat pemuda itu!" sambil menunjuk ke arah Arya Welang, "aku yakin ia bukan manusia sembarangan!"

Memey mengurungkan niatnya.

Wanita berhati iblis yang hanya berpakaian dengan dedaunan dan menyelipkan bunga melati disela telinga itu, berdengus memandang Arya Welang. Wanita itu memang sangat beringat melihat laki-laki oleh karenanya yang paling di incar adalah Arya Welang. Sedangkan Changpo tidak kentara karena memiliki tubuh seperti wanita.

Arya Welang beringsut mundur. Sekira satu tombak, wanita itu tiba-tiba menggeram,  suaranya yang lemah lembut kini menjadi menakutkan. Tatapan matanya penuh nafsu dan kejahatan. Ia menggaruk-garuk tanah dengan kukunya seperti mau menerkam.

"Siapa yang masuk kebukit ini, tidak akan selamat, gggrrr" gertaknya dan terus menggeram. Lalu ia meompat tinggi sambil melebarkan telapak tangannya dengan jari-jari panjang ingin membeset tubuh mangsanya.

Arya Welang melompat kesamping untuk menghindar cakaran wanita itu. Entah apa yang membuatnya murka terhadap Arya Welang. Dengan perlawanan dasar Arya Welang hanya mengelak untuk membaca kelihayan wanita seperti iblis itu. Tak ada serangan yang membahayakan dirinya. Dengan santai Arya Welang mengeles kekiri dan kekanan mengelak sambil merunduk lalu melompat. Tentu membuat wanita itu bertambah geram dan murka. 

Sekira tiga jurus tiba-tiba terdengar suara angin bersiur dari sebelah kiri. Sontak Arya Welang mengelak dari suara. Berkelebat cepat tahu-tahu sudah berada di hadapan wanita berhati iblis. 

"Murid durhaka kembali lah ke asalmu sebagai manusia!"

Yang berkelebat lalu berkata itu adalah manusia kate bernama Ki Jamprit.

Sambil mencekal rambut wanita itu. "Sudah lama aku mencarimu Sutini. Sudah cukup kejahatanmu yang terkutuk ini!" Lelaki kate itu menguarkan sinar putih dari lengannya. Lalu menggulung-gulung tepat di kepala Wanita berhati iblis itu yang tidak lain bernama Sutini anak murid dari manusia kate alias Ki Jamprit.

Sontak membuat wanita iblis itu meronta-ronta seraya berteriak keras sambil mencoba berontak keluar dari sinar yang ditimbulkan oleh Ki Jamprit. Badannya bergetar hebat, matanya menyorot tajam lalu mendelik keatas. Rupanya wanita itu berusaha melepaskan diri cengkraman tenaga dalam dari gurunya sendiri.

Wanita itu menggeram laksana kerasukan setan. Gigi mengancing terdengar suara bletekan. Kesempatan ini tidak dibiarkan begitu saja oleh sang guru. Wanita itu dengan rambut terjambak tentu dengan dialiri tenaga dalam sehingga wanita berhati iblis bernama Sutini itu tidak bisa bergerak.

"Sebaiknya, kau harus mati muridku!" Lelaki kate itu menarik tangannya kebelakang dengan keras, sehingga Wanita berhati iblis itu terpelanting melosoh kebelakang lalu jatuh terlentang di hadapan lelaki kate itu. Sangat mudah lelaki kate itu menginjak keras kepala wanita berhati iblis, sehingga terdengar suara kepala pecah "preek" di iringi jerit kesakitan wanita berhati iblis.

Arya Welang melihat itu terasa ngeri. Dia melengoskan wajahnya ke jurusan lain. Sama halnya dengan Changpo dan Memey, mereka memejamkan mata karena takut. 

Darah keluar deras dari rongga hidung, hidung telinga dan mulutnya. Tampa ampun lagi wanita itu mati seketika dengan mata mendelik keatas. "Mampus kau murid durhaka!" kata lelaki kate itu.

Wanita itu benar-benar sudah tidak bergerak lagi. Ki Jamprit melepaskan genggaman di rambutnya, ketika itu juga kepalanya terjatuh dan tidak bergerak lagi alias mati. 

"Maaf Kisanak, wanita ini adalah muridku yang durhaka. Terpaksa aku membunuhnya karena dosa yang sudah terlewat batas." berujar lelaki kate itu lalu berkata kembali, "silahkan pupus kepalanya dan bawa ke kota raja.!"

"Sebentar Pak tua!" cegah Arya Welang ketika ia mau beranjak pergi. "Aku Arya Welang apakah Pak Tua kenal ibuku, Ning Warsih? 

Lelaki kate bernama Ki Jamprit itu menoleh kearah Arya Welang. "Aha kau rupanya anak Pendekar wanita itu!" Lalu Lelaki kate itu mendekati Arya Welang. "Aku kenal ibumu. Ia adalah pendekar yang tangguh memiliki kipas yang sekarang berada di tanganmu." 

Ki Jamprit menepuk pundak Arya Welang. "Baiklah anak muda aku pergi dulu. Urus jenazah muridku.!" setelah berkata demikian lelaki kate itu bergegas melompat dan berlari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, tahu-tahu sudah hilang di balik rumput ilalang.

"Kisanak!" panggil Changpo, "lihat kemana tubuh wanita itu. Arya Welang menoleh alangkah terkejutnya ia melihat tubuh wanita berhati iblis yang sudah tak bernyawa itu menghilang. 

"Memey kamu melihatnya?" tanya Changpo kepada Memey. Wanita itu yang tidak lain istrinya geleng-geleng kepala. Arya Welang menoleh menatap tajam kebeberapa jurusan. Tetapi tidak ada yang mencurigakan. Mayat wanita berhati iblis hilang begitu saja.

Memey melompat kedalam rumah wanita berhati iblis itu lalu masuk kedalam, tapi tak berapa lama ia keluar kembali sambil memegang perutnya dan ingin muntah. "Uwekk..uwek..uwek.."

"Kenapa Meymey?" Changpo bertanya dengan nanar. "Lihat saja kedalam!" jawab Memey sambil melompat keluar. Changpo penasaran ingin melihat apa isi dari rumah itu yang membuat memey termuntah-muntah.

Alangkah menjijikan isi ruangan rumah itu. Banyak tulang-belulang yang sudah terpisah-pisah. Namun yang sangat mengerikan adalah banyak penis yang sudah terpotong menggantung berjejer di langit-langit ruangan itu. "Manusia jadah!" hardik Changpo. 

Yang membuat Arya Welang bingung, jenazah wanita itu mendadak menghilang secara tiba-tiba tidak ada jejak sedikit pun bagaikan hilang ditelan bumi. Berbarengan dengan perginya pendekar kate itu bernama Ki Jamprit.

"Sudahlah Memey, kita pulang saja ke kota raja," yang berkata Changpo, "yang terpenting kita sudah menjalankan perintah ini, walaupun tidak membawa bukti berupa kepala wanita iblis itu.!"

"Bagaimana orang-orang kota raja kita bawa kemari, dan kita ceritakan sebenarnya yang terjadi." Berkata Memey. Arya Welang mengerti dengan dua pendekar dari tirai bambu ini adalah pendekar bayaran dari kota raja untuk mencari Wanita berhati iblis.

"Baklah kita kembali turun bukit ini," kata Changpo. "Mari Kisanak!" sambil menoleh kearah Arya Welang lalu bergegas turun bukit.

***

Suara daun kekresekan terhempas angin membuat suasana malam di kaki gunung merapi terasa indah. Alunan binatang malam juga turut serta mendendangkan irama simfoni alam yang dapat menentramkan jiwa. Wanita berkuncir kuda duduk termenung di anak tangga rumah panggung. Pikirannya menerawang pada sosok lelaki yang yang dulu pernah menghiasi hatinya. Lelaki itu bernama Braja Anom.

Wanita yang sedang termenung dan berkuncir kuda itu adalah Ning Warsih Bunda Arya Welang, pendekar wanita yang disegani dengan Kipas Sakti yang dimilikinya yang sekarang diserahkan oleh putranya bernama Arya Welang.

"Kang Braja, aku kengen sama kamu. Di malam ini aku teringat kembali akan hubungan kita dulu. Engkaulah lelaki yang mengisi hatiku luar dan dalam. Walau banyak lelaki yang aku tiduri, itu semua hanya karena nafsu bukan berdasarkan cinta. Sedangkan engkau Kang Braja, telah membuat hatiku berbunga dan hidup ini menjadi berarti karena kehadiranmu."

Wanita berkuncir kuda itu bergumam didalam hati sambil mendongakkan wajah kelangit. Menatap rembulan bersinar dan bintang berkelap-kelip.

"Kang, sungguh aku merindukanmu!"

Bergumam demikian tiba-tiba bayangan hitam berkelebat dari arah timur dan menuju pohon vinus sehingga terdengar suara gegusrakan. Ning Warsih tersentak dari lamunannya seraya langsung membentak. "Eh-siapa itu! Jangan coba membuat kegaduhan dirumahku.!"

Wanita berkuncir kuda alias Ning Warsih berdiri bersiap pasang kuda-kuda.

Bayangan itu kembali berkelebat secepat kilat menuju dahan pohon disebelahnya. Ning Warsih terkesiap, lalu menyentak dengan keras, "Kutu bunting, jangan membokongi aku." Sehabis berkata begitu, Ning Warsih menarik tangannya seraya menarik nafas panjang tampak sinar putih menyertai ketika tangan itu ditarik kedadanya. Sinar putih itu siap di hempaskan kebayangan yang berkelebat itu. Tetapi sebelum Ning Warsih menghentakkan ilmu tenaga dalamnya. Tiba-tiba bayangan itu turun dengan cepat dihadapan Ning Warsih, saat itu juga Ning Warsih menurunkan kembali tangannya.

"Hehehehe..." Bayangan itu malah tertawa. Jelaslah siapa yang datang dan tertawa menyeringai dihadapan Ning Warsih

"Kang Braja Anom!" seru Ning Warsih ternyata bayangan hitam itu adalah Braja Anom, lelaki yang pernah mengisi hatinya.

"Benar Nyai, ah-kamu masih ingat juga wajahku yang sudah hampir senja ini!" Berkata Braja Anom.

"Kang Braja!" Ning Warsih tertegun. Baru saja ia bayangkan tentang lelaki itu tahu-tahu sudah berada didepannya. "Akang... ah akang, aku seperti sedang bermimpi bertemu Akang!"

"Nyai, kamu masih terlihat cantik dan muda," Braja Anom berkata membuat Ning Warsih memerah wajahnya. "Body kamu masih saja seperti yang dulu. Masih padat dan berisi. Bahkan aku pikir kamu itu semakin seksi dan bohay. Ah gila kamu nyai. Sungguh baru ketemu kembali, kamu sudah membuatku gila... yah uh hasratku naik Nyai!"

"Terima kasih Kang Braja!" ucap Ning Warsih tersenyum. Masih tampak wajahnya memerah karena malu. "Aku juga melihat kamu tidak berubah. Kamu masih tampan Kang Braja. Tubuhmu masih terlihat kekar. Wajahmu pun masih segar tidak keriput. Ah... aku senang sekali kamu bisa menyambangi aku ketika aku mengenang kembali masa-masa dulu. Akang ooh .... aku pun ingin mengulangi kembali apa yang kira rasakan dahulu." 

Lelaki bernama Braja Anom itu mendekati Ning Warsih lalu memandang wajahnya lekat-lekat sembari sunggingkan senyum. Ning Warsih terpana malu, ia munundukan wajah. Braja Anom mengangkat dengan jarinya, Ning Warsih mengangkat kepala. 

Bagaikan kejatuhan bintang sangat beruntung malam penuh kegalauan kini sirna dengan hadirnya lelaki yang dulu pernah dicintainya. "Akang Braja jangan menatapku seperti itu aku malu!"

"Apa yang kamu malukan. Malam ini hanya kita berdua. Bolehkah aku minta sesuatu darimu?!" 

"Apa itu Akang?" 

"Menciummu!"

"Aaaahhh... Akang mah!"

Braja Anom mendekatkan bibirnya. Ning Warsih menyambut dengan lembut. Mereka pun merasakan kehangatan di bawah sinar rembulan dan gemerlap bintang yang bertebaran di langit. Juga di selimuti suara berdesir angin melambai menambah hangat meskipun udara dingin.

"Akang kita kedalam nyu..." Ning Warsih mengajak dengan manja. Mereka pun berjalan rangkulan laksana anak muda baru pertama kali jatuh cinta walau usia mereka sudah pada uzur.

Sesampai didalam ruangan tamu, Ning Warsih berujar. "Kang di dalam kamar aja nyu...!" Braja Anom menjawab, "Ah-kamu memang dari dulu otak mesummu selalu melekat di otakmu nyai..!" "Tapi akang juga kepingin juga kaaan...!" balas Ning Warsih menyeringai. "Eh-eh!" jawab Braja Anom.

Dengan semangat Wanita berjuluk Pendekar Kipas Sakti itu memasuki ruang kamar lebih dulu disusul oleh Braja Anom. Lalu Ning Warsih perlahan membuka pakaiannya dengan membelakangi Braja Anom. Setelah semua pakaian tertanggalkan tampa sehelai benang pun, Ning Warsih membalikkan badannya tepat di hadapan Braja Anom yang memang sebelumnya berada di belakangnnya.

"Weeh....bajill....jelas sekali Nyai.." Braja Anom menyeringai ketika melihat Buah dada Ning Warsih terlihat mengkel mirip pepaya harum manis. Warna putih berurat lembut di putingnya berwarna coklat ranum dan sangat menggoda membuat Braja Anom menelan ludah juga melototkan mata.

"Oh .... gila kamu Nyai baru ini lagi aku melihat payudara wanita, aaah...., aku jadi gaceng nih Nyai...!" berujar Braja Anom. "Lima tahun aku bertapa di pucuk gunung gede. Kini aku melihat gunung gede di hadapanku.

"Akang, aku ingin malam ini menikmati cinta sampai matari terbit dari ufuk barat!" berkata Ning Warsih sambil senyum menggoda. "Baiklah sekarang buka semua pakaian yang akang kenakan. Kita akan mengadu kekuatan, apakah akang Braja siap!"

"Aku siap Nyai memang itu yang aku mau." jawab Braja Anom. Lalu lelaki itupun turut menanggalkan pakaiannya. Sehingga tampak tubuhnya yang tampak masih kekar walaupun usianya sudah hampir senja. Namun ketika semua pakaiannya tertanggalkan. Ada keunikkan tersendiri di mata Ning Warsih. Ternyata penis Kang Braja bertambah besar dan panjang, tidak seperti sepuluh tahun yang silam. Ning Warsih berkata.

"Akang, pakai apa, kok keihatannya tambah besar!" Bertanya Ning Warsih penuh kagum melihat penis Braja Anom yang mengeras sedari tadi. "Pasti akang memakai ramuan khusus pembesar penis.

Braja Anom menjawab, "Iya Nyai.. mau tau kenapa penisku bertambah besar dan panjang?" 

"Iya Akang Braja!"

"Aku selalu push up setiap pagi dengan menggunakan penisku.!"

Mendengar penuturan Braja Anom, Ning Warsib tertawa mengikik. "Hihihihi... Akang bisa aja. Masa push up pakai penis. Terus tangannya di kemanain." tanya Ning Warsih.

"Di kebelakangin. Yang dimaksud Push up, bukan push up seperti pakai tangan. Tapi push up dengan kepala penis sebagai penopangnya ditancapkan ketanah tentu dengan keseimbangan tubuh dengan cermat agar tidak terjatuh. Selama penis masih berdiri tegang, terus saja bertahan sampai penis itu terkulai.

"Terus Akang berapa jam paling lama?"

"Tiga jam!"

"Wah... Pasti akang hebat!" berkata Ning Warsih dengan tatapan membuncah penuh syahwat. 

"Berarti kalau satu babak tiga jam. Lalu kalau sampai tiga babak waaah...pasti lecet memekku akang...."

Heheheh .... Braja Anom tertawa menyeringai. 

"Apa perlu aku tambahkan dengan ilmu ...?()"

"Tidak usah Nyai... Sekalian aku mau tes ilmuku yang akan merontokan semua isi memek mu hahaha..." Braja Anom tertawa gelak-gelak membuat Ning Warsih menyorotkan mata karena dianggap rendah ilmunya. 

"Oh...gitu, mau coba ilmuku!" balas Ning Warsih pencongkan bibir. "Justru aku akan melunakkan penismu dan akan aku buat penis akang bertekuk lutut dihadapan memekku., hihiihi."

"Baik lah, kalau memang Nyai merasa mampu menghadapi ilmu perkutut mengkukur dipagi hari...!" 

"Hahahaha...nama ilmumu lucu sekali akang..!" umpat Ning Warsih, "sekalian aja namanya di ganti Beo ngoceh keselek karet hahahah!" 

"Sudah Nyai jangan banyak congor, buktikan dulu kekuatan ilmu kita masing-masing!" 

"Baiklah akang! Siaap..!" seru Ning Warsih.

"Siap Nyai!"

Braja Anom bersiap menguarkan ilmu Perkutut mengkukur di pagi hari. Sedangkan Ning Warsih menguarkan ilmu KESAT MESEM. Ilmu olah-olah dasyatnya membuat vagina rapat serapat-rapatnya. 

Braja Anom mengangkat tangannya keatas sambil mendongak. Lalu disatukan telapak telapak tangan dan di usap-usap sehingga tampak seperti debu keluar dari sela-sela telapak tangannya. Tak lama kemudian Braja Anom menurunkan tangannya itu lalu mengusapkan ke penis. Berubahlah penis itu membesar dan memanjang.

Ning Warsih melihat itu melongo-longo. Ada rasa takut juga di hatinya. Ditambah sudah lama dia tidak pernah melakukan hubungan badan selama ini. Walaupun Ning Warsih mempunyai ilmu kesat mesem kemungkina jebol juga pertahanannya.

"Sudah siap nyai!" tegur Braja Anom.

"Siap Akang..."

Ning Warsih mengangkat kaki kanan ke pundak Braja Anom. Tangan kiri merangkul leher sedangakan tangan kanan memegang tiang untuk menopang badannya agar tidak terjatuh. Perlahan Braja Anom mengarahkan penisnya tepat ditengah belahan vagina Ning Warsih yang kini meletek belah.

Tampa aba-aba lagi Braja Anom menghujamkan penisnya dengan cepat.

Cluuk...

Ditarik sengan perlahan, namun ketika kepala penis hampir keluar dari liang vagina, Braja Anom kembali menghujamkan penisnya dengan cepat dan keras.

Cluuk...

Dan itu di lakukan sebanyak tujuh kali, Sebagai ritual pembuka. Rasa hangat menyelimuti di selangkangan masing-masih. Ning warsih tertahan rasanya seperti menggumpal di liang vaginanya. Ilmu kesat mesem yang ia kuarkan menghimpit penis Braja Anom. Sedangkan Penis yang terhimpit terasa di apit dua batu gunung keras, padat juga kesat bergerigi.

Braja Anom terus menggoyangkan pinggulnya menyentak kedepan lalu ditarik kembali dengan irama mengikuti angin berderu tak tentu terkadang cepat terkadang perlahan. Ning Warsih bertahan sambil menikmati vaginanya baru merasakan kembali di kocok dengan penis lelaki yang sempat vakum beberapa tahun kebelakang.  

"Ya ... Ahhh... Eeh... " ringis Ning Warsih bergelinjang kelojotan ketika Braja Anom memainkan penisnya dengan irama cepat. 'Plok, plok, plok, plok," terdengar santar memekak telinga ketika dua alat kelamin mengadu ketangguhan ilmu masing-masing.

Braja Anom tersenyum nyinyir ketika melihat mimik wajah Ning Warsih terlihat nanar merem melek.."Ayo Nyai...keluarkan Ilmu Nyai.."berkata Braja Anom membuncah hebat. Ia pun merasa gelimpangan ketika penis terasa ba'al, tidak terasa karena seperti terhimpit batu cadas sungai ceherang, kasar tetapi lembut.

"Akang... Oh... Aku baru ini merasakan di ewek akang... Oh... Enak... Aah... Enak...ah...nikmat....iyaaa  sssst.... Enaaakk....ohh.... Terus akang.." desis Ning Warsih.

Braja Anom menjawab terbata-bata, "egghh...iya...nyai... memek...kamu .... enakkk...ah...!"

Sleb, bleb, sleb, bleb, 

Satu jam sudah mereka mengadu ilmu dalam posisi berdiri. Keduanya masih bertahan dengan kelihayan ilmu mereia masing-masing. Ruangan sempit itu yang terbuat dari anyaman bambu sempat bergoyang seperti terkena angin puting beliung. Serta merta ruangan kurang penerangan kini terlihat terang kerena sinar kekuningan yang keluar dari selangkangan masing-masing.

Uh uh uh uh uh

Dengan irama cepat Braja Anom mengobrak-abrik isi vagina Ning Warsih. Ug ug ug ug ug, tersentak suara Ning Warsih seolah-olah nafas berada di kerongkongan. Ag ag ag ag ag ag, "uuuh...oh...kontol... eah...oh...enak....ea....ea....enak....ah....." 

"Kang... sudah... satu jam... posisi...si...si... berdiri." kata Ning Warsih terputus-putus. "Ganti...posisi....ah....enaaak..!" berdesis hebat Ning Warsih merasakan selangkangannya terasa padat seperti di sumpal.

Braja Anom menegerti apa yang di maksud Ning Warsih mengganti posisi. Dia menarik penisnya sejenak lalu membalikkan tubuh Ning dalam keadaan membokonginya. Tampat pantat Ning Warsih masih gempal dan padat. Liang anusnya sanga sensaional. Bulu lembutnya pun tak kalah menarik. Braja Anom kembali menghujamkan penisnya. 

Ning Warsih merasakan liang duburnya seperti ditempel sesuatu. "Kamu mau lewat bo'ol Braja!" sentak Ning Warsih, ia tahu Lelaki pujaannya ingin mengentotnya lewat dubur. Tapi dengan cepat Ning Warsih menghentakkan pantatnya kesamping sehingga membuat Penis Braja melengos kekiri meleset target.

"Jangan lewat Bo'ol akang, aku gak suka!" tukas Ning Warsih dengan nada sengit. "Lewat yang ada aja... aku dak mau bo'olku melodot." tukas Ning Warsih. Seraya mengangkangkan kedua pahanya sehingga melebar. Tentu dengan mudahnya Braja Anom memasukan kembali penisnya. Tampak sinar biru menggulung di penis Braja Anom, rupanya ia menguarkan ilmu Ular Kadut menggelepar Lapar. Ilmu tidak olah-olah hebatnya dalam bersenggama.

Ning Warsih tidak mau kalah, dengan cekat pula ia menguarkan ilmu Rongga Seribu Jin, ilmu khusus penarik sperma ketika sang wanita sudah lelah dalam senggama, dengan ilmu ini, dapat menghisap seluruh sperma laki-laki yang bersenggama dengannya.

"Terima ini Nyai!" ujar Braja Anom. Sambil mengocok kembali penisnya di liang vagina Ning Warsih. Goyangan yang menggeparkan ringkup ruangan yang hanya terbuat dari anyaman bambu itu.

Braja senang sekali melihat bokong Ning Warsih yang gempal ambul-ambulan ketika ia melabraknya. Tampak pula bulu vagina menjutai lebat keriting itu sudah lembab basah. Suara teprok itu mengiringi simfoni keindahan malam itu. Plok plok plok plok plok.

Dalam posisi menungging sembari berpegangan tiang penyangga. Ning Warsih merasakan nikmat tiada tara ketika selangkangannya di tusuk-tusuk penis. Sensasi terbaru menurutnya dengan posisi itu. Matanya mendelik keatas, lalu di pincingkan.

Diturunkan sedkit bokongnya bertambah lebarlah bokong dan vagina itu. Braja Anom terus menghujamkan penis itu dengan cepat dan keras. Ia merasakan ada kekuatan menghimpitnya. Seolah-olah ada magnet yang terus menghisap dan memaksakan spermanya untuk keluar. "Sungguh hebat ilmu Ronggga seribu Jin yang dimiliki Ning Warsih!" batin Braja Anom.

"Ssst...aaahhh....ssss.....aaahhh" desis Braja Anom keenakan.

"Ehhh..ehhh...ehhh....akang....oh...oh....yaa....ya...ya..." buncah nikmat berdesir hebat didalam darah Ning Warsih. "Ohh....ohh... enaakk.....aahhh...eankkk .... Teruus akang...entot...aku kang...oh enak..memek...ku...memekku...oh..emek aku enaakk akang....gurihhh...ahhh"

"Iya Nyai..kontol akang juga enak nih...uh..uh..uh..uh"

"Kontol akang...ssst...enaaak...uuhh....nikmat...akang...kotollll....uuh..."

Ning Warsih geleng-geleng kepala saking merasakan nikmatnya. Vaginanya berdenyut hebat, kalau seperti itu tentu Ilmu Rongga Seribu Jin tak akan bekerja maksimal karena Ning Warsih benar-benar pasrah dalam merasakan kenikmatan.

"Ayo akang, genjot terus sampai pagi...uuhh...ugg....ah...genjot terus.." kata Ning Warsih berdesis. "Oh...kang..memek mau pipis...oh...aku kalah kang memekku mau pipis...ahh..." 

Ning Warsih merasakan ada yang mau menyembur dari ringga vaginanya. Dia tertahan ketika di kedennin. Tubuhnya menggelepar hebat sehingga palang kayu untuk tiang hampir berkretekan mau patah. Hanya saja Ning Warsih tahu ia segera memegang palang kayu lainnya.

Hal yang sama dirasakan oleh Braja Anom. Penisnya mengencang hebat. Rasa linu dirasakan ketika ia menembak dengar air kental memutih. Pelicinnya mulai menjalar ke batangnya. Di tambah peraduan air pelicin yang diberikan oleh Ning Warsih. Tampa di sadari permainan sudah tiga jam belum ada yang kalah dari kedua pihak.

"Akang aku mau keluaaaar...." Ning Warsih berdesah.

"Sama Nyai...oh...aku juga.  Dikit lagi Nyaai....uh uh uh uh.."

Tak lama kemudian...

Sleeeser.....cruuuut....crot.

Bareng, ya mereka berbarengan keluarnya. Sehingga membuat banjir di selangkangan masing-masing. Ilmu yang mereka gunakan pun makin lama makin melemah, hingga akhirnya luntur menghilang. "Uh...udah Akang, aku udah keluar...uh..enak bangeeet kang...." 

"Iya Nyai...aku juga keluar...uh...memek nyai gurih...memek nyai hebat....ah..." Braja Anom terkulau lemas dan memeluk tubuh Ning warsih dari belakang. Ning Warsih pun lunglai membungkuk lalu dibiarkan Braja Anom bersandar di pundaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar